"Aku dan Pengunjung Taman"

Gadis kecil itu menghambur pada ibunya. Perempuan muda, berlesung pipit, berbulu mata lentik,  memaparkan dengan gamblang sebuah imaji yang mendefinisikan kata cantik. Perempuan itu menenteng keranjang sayuran, sinar wajahnya sedang tidak cerah, namun tetap meneduhkan. Ia memandangku sedikit kecewa, namun tak tampak amarah. Ia menatapku lekat,  hingga aku salah tingkah.

"Ya Bunda yaa..." Rengek gadis kecil itu sambil menggoyang-goyang tangan kiri ibunya, memelas dan merajuk.

"Aku janji sebentaaar aja, ya? Yaa...."
Gadis kecil itu terus bernegoisasi manja. Tangan kanan perempuan itu membelai lembut rambut anak gadisnya, lalu mengangguk pelan dengan isyarat mata mengiyakan.

Gadis itu langsung berbalik arah dengan cekatan, berlari padaku dengan sangat bahagia dan menampilkan kelegaan yang luar biasa. Melompat-lompat kegirangan di tengah taman yang tak lebih besar dari lapangan futsal ini. Di tengah taman ada sebuah replika bundaran HI lengkap dengan air mancur kecil yang menari-nari. Bunga-bunga perdu ditanam melingkar,  lalu di undakan paling atas, vinca bertengger berwarna-warni, sepertinya sengaja ditanam paling atas untuk melambangkan warna aura. Memiliki kesamaan fisik, tidak menjamin keseragaman karakteristik.

Bebatuan putih ditata rapi mengitari tepian bawah bundaran HI,  menciptakan kontras yang tegas antara hijau dan merah, hijau dan jingga,  hijau dan nila, dari warna-warna vinca. Entah vinca, entah aura. Dan bahkan kontras itu sendirilah yang sebenarnya menampilkan pembeda antara hijau dan putih. Taman ini terlalu indah untuk sebuah ekosistem yang dinamis.

Gadis itu berjingkrak dengan tawa lepas. Menyambutku dengan ramah dan bungah. Aku tersenyum. Ya, tentu saja aku tersenyum. Puas. Adakalanya sensasi ketenangan justru hadir saat pengorbanan kita jatuh dari langit,  mencipta bahagia dalam bentuk sederhana. Tidak akan ada rasa sakit, ketika rasa asih meraja.  Ini sangat melegakan.

"Terimakasih gadis kecil, aku akan membahagiakanmu. Aku bisa menjaminmu tentang hal itu. Percayalah" Aku memeluknya erat.

Perempuan itu, ibu dari gadis kecil itu menatapku lekat.  Aku sempat salah tingkah. Mereda sejenak, berfikir. Apakah aku terlalu atraktif dalam menghadirkan cinta, terlalu bergairah  menunjukkan rasa? Maafkan aku, aku hanya terlalu berselera mengguyur bahagia.

Perempuan itu masih menatapku lekat, entah benar-benar menatapku, atau tatapannya sebagai isyarat bisu? Aku tak bisa menerka dengan tepat.   Aku sempat mengira dia sedang menanti sesuatu. Kepergianku misalnya? Bisa jadi bukan?

Tetapi saat aku amati lekuk wajahnya yang teduh itu lebih dalam, aku tak melihat dendam. Aku melihat bias air bening menggembung di ujung kelopak mata, tapi bukan sedih, bukan! Tidak tampak seperti itu. Ada cinta menguar dari tatapannya.

Aku mengamati detail wajahnya dan mencoba mendengar dengan sesama detak jantungnya. Terlihat sangat tenang, terdengar sangat berirama.
Perempuan itu menatapku penuh arti, dan akhirnya aku mampu membaca aura kerinduan mencipta atmosfer pada dirinya. Rasa cinta yang dalam, kerinduan yang meneduhkan,  dan hela nafas yang menikmati aroma tanah basah yang menentramkan.

Samar aku melihat senyum tipis saat perempuan itu mengangkat sedikit wajahnya dengan mata tertutup. Menikmati setiap detail sensasi yang aku hadirkan. Irama air, angin sejuk, aroma basah, kenangan dan kerinduan yang kutuntun turun dari langit. Bersamaku, segala kenangan manis menjadi sangat jinak dan mendebarkan.

Di seberang perempuan itu berteduh, ada perempuan lain yang berdiri tepat di seberang taman. Tentu saja dua perempuan itu tak bisa saling pandang, karena lebatnya tentara air yang  menumpahkan seluruh rasa dengan intensitas tinggi. Perempuan itu berbaju jingga, mendekap sebuah dompet berwarna merah muda, yang menyimpan separuh nyawanya, separuh asanya,  separuh nadinya. Semuanya itu ia susun rapi dalam bilik-bilik kecil seukuran kartu tanda penduduk. Wajahnya resah, aku menjadi tak tega melihatnya. Ada rasa bersalah yang menyapaku, lalu aku memilih mengedarkan pandangan  kearah lain.

Tatapanku jatuh pada sesosok perempuan muda yang lain. Ditempat yang sama. Di taman ini. Namun disisi yang berbeda. Di sisi dimana bougenvil menjalar dan menjulurkan bunganya dengan pongah. Sangat anggun dan indah. Perempuan itu tidak sendiri, ia duduk berdua. Di sebelah kanan bahu perempuan itu, duduk seorang lelaki dengan wajah tenang, perempuan itu menyandar pada bahu kiri lelakinya itu yang terlihat sangat bidang, Luas, dan kokoh.

Selain mereka, ada mahluk lain yang bersemayam dengan nyaman, tepat di atas pusat tubuh perempuan itu. Dia duduk selayaknya ratu, dalam dirinya  ada nadi yang berdetak syahdu, ada benih yang subur menghijau, ada cinta yang merekah merah.

Tangan kiri lelaki itu melingkar di atas bahu perempuan itu, sedang tangan kanannya membelai singgasana makhluk mungil bernama janin. Tatapan lelaki itu penuh kasih, lalu mengucapkan mantra-mantra sihir yang menenangkan.

"Anakku, kami tak sabar menunggumu, ibumu akan mengajakmu bermain di atas rembulan, ayah akan mengajakmu plesir di galaksi bintang, kita bertiga  akan bermain hujan di pagi yang sejuk dibulan Januari,  lalu bertamasya di tempat yang indah dan jauh, sangat jauh, hingga malaikat maut frustrasi mengendalikan rasa iri saat melihat cinta kita."

Perempuan itu tertawa bahagia dan mencubit lengan lelaki itu manja. Rona pipinya memerah penuh bahagia.

"Ah.. bukan hanya malaikat yang iri, aku pun merasa serupa." Aku tersipu.

Namun rasa iri ini justru membumbungkan sensasi lega yang tiada tara. Kita tidak harus terpapar kebahagiaan secara langsung demi merasa bahagia. Merasa bahagia saat orang lain bahagia adalah salah satu wujud asli dari kebahagiaan itu sendiri. Ada pertanda bahwa kita masih manusia yang manusiawi.

Aku mengalihkan pandangan ke tempat lain dalam sisi yang sama. seorang lelaki tua berjongkok lesu, menatap kotak styrofoam berisi es lilin yang mulai mencair dalam bungkusnya. Seperti harapannya yang mencair, membaur bersama hujan, menjatuhkan diri dan lenyap menembus bumi.

Sesekali lelaki itu mencuri pandang pada lelaki penjual kue rangin yang hangat dan memikat. Pengunjung taman berjongkok berderet dengan mulut terkatup rapat menahan liur, tepat di depan lelaki penjual kue rangin. Aroma kue itu menguar kuat, menembus lebatnya hujan,  menyeringai dan menyampaikan pesan khusus pada lambung dan otak,  tentang imaji rasa gurih. Rizki penjual rangin sedang berbaris rapi menunggui tuannya dengan lembaran kertas kumal yang bernilai.

Lelaki penjual es lilin itu menghiba menatap langit. tembakan matanya membuat aku bergetar. Ada keresahan yang menyelimutiku saat mata kami beradu pandang. Tidak ketemukan dendam, atau sakit hati yang meradang. Aku justru menemukan ada harapan yang menggantung dari bibirnya yang melafal doa tanpa celah dan cela.

"Ya Robb, berilah keberkahan di setiap tetes air hujan yang mengguyur, jagalah hatiku, jagalah hidupku, jagalah jiwaku.  Sejujurnya, aku tidak pernah khawatir atas hujan-Mu, karena Engkaulah penjaminku." Wajahnya sayu,  namun bias syukur tak dipudarkan oleh gerutuan.

Rasa kecewa memang hanya muncul karena besaran mimpi, ekspektasi yang terpatri kuat di hati, dan harapan yang terlalu tinggi. Andai saja semua manusia tahu, bahwa kekecewaan hanyalah proses kimiawi, akibat ketidaktepatan realita dan prediksi, mereka akan berbondong-bondong, berhiruk-pikuk menggantungkan seluruh impian mereka pada Illahi.

Lelaki itu terus merapal doa, menyandarkan selaksa angan, membubarkan barisan resah, hingga kekecewaan tidak menemukan tempat berkuasa dalam hatinya.  senyum lelaki itu tidak benar-benar menghilang,  hanya mereda untuk sementara, hingga hujan reda.

"Pak, tolong bungkus semua es lilinnya, istri saya hamil muda. Ingin memakan seluruh varian rasa."

Kalimat lelaki berbahu bidang itu membuyarkan lamunan lelaki penj
ual es lilin. Jantungnya berdetak, takbir!

                   
                            Jember, 22 maret 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Munajat Cinta untuk Fatma

Pagi Berkabut